Jumat, 02 Mei 2008

Tentang Poligami

A. POLIGAMI

Prinsip poligami telah disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi selain Islam. Syariat Taurat menetapkan seorang laki-laki boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Disebutkan bahwa para nabi menikah dengan puluhan wanita. Taurat adalah kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injil atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Akan tetapi belum pernah didapatkan ketentuan yang dengan jelas bertentangan dengan Injil. Pada abad pertengahan, gereja membolehkan praktek poligami. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Eropa, para raja banyak melakukan praktek poligami. Dalam hal ini, Islam berbeda dengan syariat agama samawi lainnya. Dalam agama Islam, poligami ada batasannya. Islamlah agama samawi pertama yang membatasi poligami

B. DALIL RUJUKAN POLIGAMI

“.....Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi jika kalian khawatir tiadak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah budak-budak yang kalian miliki. Hal itu adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya.” (QS AN-Nisa :3)

Ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. pada tahun kedelapan hijriah. Ayat al-Qur’an di atas membolehkan adanya poligami, sekaligus membatasinya pada bilangan empat. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berbuat adil. Sebab, pembatasan pada bilangan bilangan satu dalam kondisi adanya kekhawatiran tidak berlaku adil merupakan tindakan yang lebih dekat pada sikap tidak berlaku lalim. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap muslim.

C. HUKUM POLIGAMI

Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunnahkan bagi muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang perlu oleh mereka. Realitas semacam ini mengandung pengertian bahwa, syariat Islam telah memberikan kepada manusia suatu pemecahan (yakni poligami) yang boleh mereka praktekkan jika memang mereka membutuhkannya, serta telah membolehkan mereka untuk tidak mengharamkan diri mereka sendiri terhadap apa yang merka senangi dari kaum wanita, jika memang menurut pandang mereka-mereka tertarik pada hal itu. Sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, akan begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa istrinya atau keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali. Karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali bin abi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi Thalib tidak melakukan poligami. Kalau hukum poligami itu sunnah atau dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang Ali berpoligami akan bertentangan.

D. SYARAT-SYARAT POLIGAMI

Ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami:

Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat.

Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, baik dalam hal bermalam atau memberi makan , pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam perkara-perkara yang termasuk ke dalam pengertian bolehnya bersikap condong, yakni dalam masalah cinta dan selera (hasrat seksual), maka tidak ada kewajiban untuk bersikap benar-benar adil, karena hal itu memang berada di luar kemampuan, di samping dikecualikan berdasarkan nash al-Quran.

Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya.

E. HIKMAH POLIGAMI

Dengan membolehkan poligami yang dipersempit dengan syarat-syarat di atas, Islam telah menanggulangi berbagai masalah sosial, di antaranya:

Pertama, ada kemungkinan jumlah laki-laki berada di bawah jumlah wanita, terutama pada masa-masa setelah terjadi perang, maka merupakan kehormatan bagi seorang wanita untuk menjadi istri, meskipun harus dimadu, daripada harus berpindah-pindah dari satu lelaki ke lelaki lain.

Kedua, kadang-kadang terdapat laki-laki dan perempuan yang tidak kuat menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual, baik secara sah atau tidak, maka demi kemaslahatan umum, akan lebih baik kalau hubungan itu dilegitimasi oleh agama. Bagi wanita, lebih baik menjadi istri daripada berpindah tangan dari yang satu kepada yang lainnya. Meskipun dibolehkannya poligami ini memiliki dampak negatif, tetapi dampak itu jauh lebih kecil daripada jika poligami dilarang, sebab terbukti dapat mencegah terjadinya masalah sosial yang lebih besar dari sekadar berpoligami.

Ketiga, tidak mungkin seorang wanita menikah dengan laki-laki beristri kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun istri pertama akan menderita lantaran suaminya kawin lagi dengan wanita lain, maka wanita lain itu juga akan mengalami penderitaan lebih besar jika tidak menikah. Sebab ia bisa menjadi kehilangan harkatnya sebagai wanita atau menjadi wanita tuna susila. Sesuai dengan kaidah yurisprudensi Islam, Ushl al-Fiqh, risiko yang besar dapat dihindari dengan menempuh risiko yang lebih kecil.

Keempat, kadangkala seorang istri menderita penyakit yang membuatnya tidak bisa melakukan hubungan seksual atau mengalami kemandulan. Maka perkawinan dengan wanita lain akan membawa dampak positif bagi yang bersangkutan, di samping dampak sosial. Karena itulah Islam membuka pintu poligami dengan sedikit pembatasan, tidak menutupnya rapat-rapat. Islam adalah syariat Allah yang mengetahui segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

F. PERNIKAHAN-PERNIKAHAN RASULULLAH SAW

1. Khodijah binti Khuwailid RA, ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun.

2. Saudah binti Zam'ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr.
3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabiannya.

4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga hijriyah.

5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho'sho'ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut.

6. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo'dah tahun keliam dari hijrah.

7. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza'ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya'ban tahun ke 6 Hijrah.

10. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di Habsyah.

11. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimerdekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah.

12. Maimunah binti Al- Harits RA, saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa'dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.

Tidak ada komentar: